Indonesia, negeri kaya di khatulistiwa, tak henti dirundung nestapa.
Nasib serupa dialami kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Di
Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan selama 2013 menunjukkan betapa negeri ini belum mapan dan kian
jauh dari harapan. Rangkaian peristiwa menonjol, terangkum dalam kilas
balik berikut ini.
Politik: Demokrasi dan Gurita Korupsi
Tahun 2013 menjadi tahun yang penting menjelang suksesi kepemimpinan
Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus lengser pada 2014,
setelah memimpin selama dua periode.
Berbagai ancang-ancang dilakukan oleh partai politik untuk berebut
kursi tertinggi negeri Muslim terbesar di dunia ini. Puluhan partai
politik mendaftarkan diri. Namun hanya 12 partai politik nasional yang
akhirnya berhak maju ke pemilihan umum mendatang. Hampir semuanya adalah
partai-partai lama. Kalau pun baru, orangnya stok lama.
Di tengah persiapan menjelang Pemilu, tabir busuk partai politik
mulai terbuka. Syahwat mereka mengumpulkan pundi-pundi uang dengan
segala cara untuk kepentingan demokrasi tak bisa ditahan lagi. Jadilah
partai politik menjadi sarang bercokolnya para koruptor. Wakil-wakil
rakyat yang duduk di DPR satu per satu dicokok oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Setelah tahun sebelumnya M Nazaruddin (bendahara Partai Demokrat)
dijebloskan ke penjara karena terbukti korupsi giliran berikutnya adalah
teman-temannya. Ada Angelina Sondakh yang November lalu dijatuhi
hukuman 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Sementara Andi Alfian
Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga dari Partai Demokrat, ditahan
KPK karena diduga terlibat korupsi Wisma Atlet di Hambalang. Kasus yang
sama menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Padahal mereka ini sebelumnya adalah bintang iklan: “Katakan tidak pada
korupsi!”
Bukan hanya Partai Demokrat, utak-atik proyek pun dilakukan oleh
kader Partai Keadilan Sejahtera. Tak tanggung-tanggung, pelakunya adalah
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Di penghujung Januari, ia ditangkap
KPK karena terlibat dalam pengaturan impor daging sapi dan tindak pidana
pencucian uang. Di persidangan, Lutfi dinyatakan bersalah dan divonis
16 tahun penjara dan hartanya disita.
Korupsi ini tidak hanya menjadi domain wakil rakyat, birokrat pun
terlibat. Beberapa hari sebelum Luthfi, Irjen Pol Joko Susilo
digelandang KPK. Ia didakwa terlibat korupsi simulator SIM. Di
persidangan Joko divonis 10 tahun penjara.
Rupanya, korupsi ini sudah menjadi penyakit akut dan menjangkiti
semua lini. Agustus 2013, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (
SKK Migas) Rudi Rubiandini tertangkap tangan menerima suap di rumahnya. Uang itu dari perusahaan migas yang ingin memenangi tender.
Dan yang paling spektakuler di tahun 2013 adalah tertangkapnya Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK. Ia dicokok di rumah dinasnya,
komplek pejabat tinggi negara karena diduga menerima uang suap dalam
kasus Pilkada di Kab Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bersamanya
digelandang pula kader Partai Golkar Chairunnisa.
Ternyata Akil tidak hanya bermain di satu Pilkada itu saja. Ia pun
diduga menerima suap dalam kasus Pilkada Lebak, Banten. Saat itu pula
KPK menangkap Tubagus Chaeri Wardhana, adik kandung Gubernur Banten Atut
Chosiyah. Dari sinilah, berbagai kasus korupsi di Banten oleh keluarga
Atut mulai terkuak. Terungkap pula, dinasti Atut menguasai hampir semua
lini pemerintahan di provinsi paling barat pulau Jawa itu. Dan ada
dugaan, terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya.
Sepak terjang dinasti Atut ini pun menambah deret panjang jejak
korupsi di birokrasi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 309
kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi sejak pemilihan kepala
daerah secara langsung pada 2005, baik berstatus tersangka, terdakwa
maupun terpidana.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menilai faktor
utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu adalah
tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah
berlangsung. “Karena dalam politik tidak ada yang gratis.”
Itulah mengapa, politik dinasti muncul di daerah. Begitu salah satu
bagian dinasti meraih kursi, singgasana itu akan terus dipertahankan
pada dinastinya. Pakar menyebut ini sebagai ‘cacat bawaan demokrasi’.
Hampir semua lini terlibat korupsi. Tak terkecuali, para pejabat
tinggi. Wakil Presiden Boediono diperiksa KPK karena diduga bertanggung
jawab atas pengucuran dana bagi Bank Century, Rp 6.7 triliun. Demikian
pula Istana disebut-sebut terlibat dalam berbagai tindak korupsi dalam
kasus impor daging sapi dan Hambalang.
Bersamaan dengan itu, pemerintah dan DPR berusaha mengebiri ormas
dengan melarang mereka menggunakan asas Islam dan bergerak di bidang
politik. Penentangan pun bermunculan. Akhirnya, UU Ormas disahkan dan
berbagai niat pemerintah tak kesampaian.
Ekonomi: Jago Utang, Dicaplok Asing
Pembangunan di Indonesia ternyata lebih mengandalkan utang daripada
sumber kekayaan alam. Hingga September 2013, utang pemerintah Indonesia
mencapai Rp 2.273,76 triliun. Jumlah utang ini naik naik Rp 95,81
triliun dibandingkan dengan posisi Agustus 2013.
Bila dibandingkan dengan utang di akhir 2012 yang sebesar Rp 1.977,71
triliun, utang pemerintah di September 2013 naik cukup tinggi. Secara
rasio terhadap PDB total di 2012, utang pemerintah Indonesia berada di
level 27,5 persen hingga September 2013.
Utang ini menjadi andalan Indonesia karena kekayaan alam telah
tergadaikan kepada asing. Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof
Pratikno mengatakan, hingga September aset negara sekitar 70-80 persen
telah dikuasi bangsa asing. Tanpa usaha keras untuk mengambilnya
kembali, aset itu semuanya akan jatuh ke tangan orang asing.
Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan misalnya, bangsa asing
telah menguasai lebih dari 50 persen. Sektor migas dan batu bara antara
70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen dan lebih parah adalah
pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asng mencapai 80-85
persen.
Dalam situasi seperti itu pemerintah tak berkutik. Titah asing tak
bisa ditolak. Jadilah pemerintah membebek perintah asing untuk mencabut
subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mulai Sabtu (22/6/2013) pemerintah
menetapkan, harga BBM bersubsidi jenis premium naik Rp 2.000 per liter
dan harga jual Solar naik Rp 1.000 per liter.
Dengan kenaikan tersebut, maka terhitung mulai Sabtu (22/6), harga
jual premium yang semula Rp 4.500 per liter kini menjadi Rp 6.500 per
liter. Sedangkan harga Solar yang semula Rp 4.500 per liter menjadi Rp
5.500 per liter. Pemerintah beralasan, meningkatnya harga minyak dunia
dan membengkaknya konsumsi BBM, telah mengakibatkan subsidi BBM
mendekati Rp 300 triliun dan defisit anggaran melampaui 3 persen.
Anehnya, DPR yang katanya wakil rakyat, malah setuju dengan pemerintah
dan menolak aspirasi rakyat.
Ketika para pakar berpendapat kenaikan harga BBM ini akan menaikkan
inflasi dan kemiskinan lebih dari 2 persen, dalam pidato kenegaraan di
depan DPR Agustus 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru
mengklaim kemiskinan di Indonesia menurun. Tercatat tingkat penurunan
angka kemiskinan di 2004 hingga 16,66 persen menjadi 11,37 persen hingga
Maret 2013.
Padahal fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Secara
kualitas kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin
kronis. Ini pula yang dirasakan oleh Gubernur DKI yang baru Joko Widodo.
Saat sidang paripurna DPRD DKI Jakarta April 2013, Jokowi memaparkan
jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 sebesar 366.770 orang
atau 3,70 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk
miskin pada September 2011 yang berjumlah 355.200 orang atau 3,64
persen.
Angka kemiskinan ini berkorelasi positif dengan jumlah pengangguran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar
6,25 persen atau sebanyak 7,39 juta orang (per Agustus 2013) atau
meningkat sebesar 6,14 persen (7,24 juta orang) dibandingkan periode
yang sama 2012.
Kepala BPS Suryamin Rabu (6/11/2013) menjelaskan, bertumbuhnya jumlah
pengangguran ini lantaran adanya perlambatan ekonomi pada tahun ini,
terutama pada triwulan III/2013, di mana ekonomi tumbuh hanya 5,62
persen. “Perlambatan ekonomi ini menyebabkan pengurangan lapangan kerja.
Akhirnya kurang ada penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Ekonomi yang kian sulit mendorong para buruh terus berupaya
mendapatkan perbaikan penghasilan. Sepanjang tahun 2013, aksi buruh
terjadi di mana-mana. Mereka menuntut perbaikan upah minimum. Para
pengusaha pun keberatan karena mereka banyak terbebani biaya siluman
alias pungutan liar. Ini diakui sendiri oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Sementara buruh merasa upahnya tak lagi
cukup untuk hidup. Konflik itu terus berkepanjangan hingga akhir tahun.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah meminta DPR menyetujui anggaran
negara tahun 2014. Postur APBN itu menunjukkan kenaikan pengeluaran
pemerintah. Ironisnya, sebagian besar pengeluaran APBN kita ternyata
bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk yang lain: membayar utang
dan bunganya; gaji pegawai negeri; juga fasilitas dan perjalanan dinas
para pejabat. Bahkan tren pengeluaran untuk fasilitas dan perjalanan
dinas para pejabat meningkat dari tahun ke tahun. Sebaliknya,
pengeluaran untuk rakyat—melalui subsidi—terus-menerus dikurangi.
Sedangkan di sisi penerimaan berkurang. Lagi-lagi pemerintah
mengandalkan penerimaan dari pajak, bukan sumber daya alam. Untuk itu
pemerintah akan menggenjot pajak dan mengutang kepada negara
lain/lembaga internasional.
Bahkan untuk menaikkan citra, pemerintah rela merogoh kocek Rp 109
miliar untuk menyelenggarakan pertemuan World Trade Organization di
Bali, awal Desember lalu. Tidak ada yang didapat Indonesia kecuali
pujian bahwa Indonesia menjadi pelaksana pertemuan WTO yang baik.
Sementara kepentingan Indonesia dan negara berkembang melayang, kalah
oleh kepentingan negara besar. Tragis.
Sosial Budaya: Kian Rusak dan Liberal
Tahun 2013 tak lepas dari konflik hirisontal. Demokrasi yang
digadang-gadang mampu melahirkan tatanan masyarakat yang lebih baik
ternyata sebaliknya. Masyarakat kian liberal dan terputus jalinan
persaudaraannya.
Konflik antar anggota masyarakat berlangsung hampir setiap saat.
Setiap masalah berujung kepada kekerasan, anarkisme. Bentrok
antarkampung, antarsuku, antarpreman, antarsekolah, antarormas,
antarpendukung calon kepala daerah, bahkan antargeng mewarnai
pemberitaan televisi. Dan negara dibuat tak berdaya.
Budaya kekerasan ini berimbas kepada lahirnya manusia-manusia sadis.
Kriminalitas tumbuh sampai taraf yang mengkhawatirkan. Pembunuhan
terjadi dengan berbagai modus. Ada mutilasi (kasus Benget di Jakarta
Timur) bahkan kepada orang terdekatnya (istri), menggunakan pembunuh
bayaran (kasus Holly), dibunuh lalu dimasukkan koper (kasus Tante Heny),
dibunuh pasangan suami istri (kasus penari telanjang) dan sebagainya.
Sementara dii kalangan remaja terjadi degradasi moral yang luar
biasa. Seks bebas menggejala. Video mesum tak hanya dibuat kalangan
dewasa, tapi remaja bahkan siswa SMP. Bahkan ada pelajar SMP di Surabaya
yang menjadi mucikari untuk kawan-kawannya sendiri. Tak heran jika
sekarang anak seusia SD pun ada yang melahirkan (kasus di Musi
Banyuasin, Sumsel).
Tingginya angka perilaku seks bebas berimbas pada bertambahnya jumlah
pengidap HIV/AIDS di kalangan remaja. Nah, demi mengerem wabah
penyebaran virus HIV, pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAN) bersama DKT Indonesia dan Kementerian Kesehatan kemudian
menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1 Desember hingga 7 Desember
lalu dengan membagikan kondom secara gratis. Kebijakan ini disinyalir
akan kian menyuburkan seks bebas. Tapi program ini dihentikan di tengah
jalan setelah mendapat tantangan keras dari berbagai pihak.
Di sisi lain, pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan generasi
terbaik, gagal. Banyak koruptor justru pernah mengenyam pendidikan
tinggi. Bahkan diantaranya ada yang bergelar profesor dan doktor.
Terbukti, pendidikan yang berjalan kering dari nilai-nilai moral dan
etika, apalagi agama. Yang terlahir justru generasi yang permisif,
hedonis, materalis, dan individualis.
Pemerintah sendiri seperti tak peduli dengan nasib generasi ini.
Perhelatan Miss World digelar di Indonesia dengan berbagai dalih.
Padahal semua tahu perhelatan itu adalah ajang eksploitasi wanita oleh
kaum kapitalis. Akibat tekanan dari berbagai pihak, khususnya dari
kalangan ormas Islam, akhirnya kontes Miss World dipindahkan ke Bali.
Seolah dengan cara itu pemerintah telah berbuat kebaikan, padahal esensi
ekploitasinya tetap saja terjadi.
Internasional: Umat Islam Teraniaya
Situasi dunia Islam belum berubah. Bahkan di beberapa tempat makin
buruk. Umat Islam menjadi keganasan berbagai rezim. Di Suriah, lebih
dari 150 ribu kaum Muslim dibantai oleh rezim Bashar Assad. Anehnya,
dunia membiarkan pembunuhan massal tersebut.
Di Mesir, rezim militer Mesir dipimpin Abdul Fatah As Sisi
menggulingkan pemerintahan Mursi yang baru berkuasa secara sah selama
setahun. Kudeta ini menyebabkan konflik berkepanjangan. Rakyat menjadi
sasaran kekejaman tentara.
Di Palestina, umat Islam masih menjadi bulan-bulanan tentara Israel.
Rumah-rumah mereka dihancurkan dan diganti dengan permukiman Yahudi.
Bahkan bagian bawah Masjid Al Aqsha dibuat terowongan untuk membangun
tempat peribadatan kaum terlaknat tersebut. Umat Islam di Gaza diblokade
dari segala penjuru. Terowongan yang menghubungkan Gaza-Mesir
dihancurkan. Sementara itu, di Afghanistan umat Islam terus dijajah oleh
Amerika Serikat dan penguasanya sendiri.
Di belahan dunia Islam lainnya, kaum minoritas Muslim tak beranjak
dari kondisi terpuruk. Muslim di Xinjiang (Cina), Rohingya (Myanmar),
dan Pattani (Thailand) berjuang untuk membebaskan diri dari kekejaman
rezim penguasa. Sementara di Barat, minoritas Muslim sering mendapatkan
perlakukan diskriminatif. Mereka semua tak bisa berbuat banyak, kecuali
bertahan dan membela diri dengan kemampuan yang ada.
Di sisi lain, negara adidaya Amerika Serikat mulai berjalan gontai.
Krisis ekonomi membuat negara itu limbung. Utang kian menumpuk. Rezim
Obama bersitegang dengan Kongres terkait anggaran belanja negara
sehingga pemerintahan AS sempat mengalami
shutdown Oktober lalu karena rencana pemerintah menambah utang tak disetujui oleh Kongres.
Tidak hanya krisis ekonomi, AS pun mengalami krisis sosial.
Kriminalitas meningkat, termasuk pembunuhan massal. Di penghujung tahun,
markas Angkatan Laut diserang, 13 tewas. Demikian pula pengangguran dan
kemiskinan mulai tampak. Gelandangan terlihat di beberapa sudut kota.
Kendati begitu, AS secara militer merasa masih cukup kuat. Dengan
kemajuan teknologinya, AS menyadap puluhan negara termasuk Indonesia.
Aksi Amerika ini dibantu oleh sekutunya yakni Australia dan Inggris.
Banyak negara marah atas aksi Amerika itu. Tapi tidak demikian dengan
Indonesia. Rezim SBY tak berani protes kepada AS. Dan kepada Australia,
SBY hanya mengirim surat dan menarik duta besar Indonesia dari Canberra.
Begitu PM Australia Abbot menyatakan Australia tidak akan menghentikan
aksi penyadapannya, SBY juga diam saja. Tak bisa apa-apa.
Akar Masalah
Krisis politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan sebagainya yang
terjadi di dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia,
saat ini, tidak dapat dipisahkan dari ideologi Kapitalisme. Artinya,
ideologi Kapitalisme yang diterapkan itulah yang menjadi sumber dan akar
berbagai krisis tersebut. Sebagaimana diketahui, ide dasar Kapitalisme
adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan.
Sumber hukum dalam ideologi ini dari akal semata, karena pada satu sisi
keberadaan Tuhan diakui, namun di sisi lain manusialah yang dianggap
layak untuk menetapkan berbagai aturan.
Ideologi merupakan pandangan hidup yang menjadi asas dalam berbagai
aspek kehidupan negara, seperti ekonomi, politik, budaya, hukum,
pemerintahan dan lainnya. Di Indonesia, Kapitalisme telah dipilih oleh
pemerintah Orde Baru sebagai landasan dalam menyelesaikan berbagai
persoalan saat itu yang dihadapi saat itu. Diantaranya melakukan
liberalisasi ekonomi dan pasar, serta mengikatkan diri dengan IMF dan
Bank Dunia yang memberikan utang. Pada sisi lain, Indonesia harus
membuka pasar dan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi oleh pihak asing
atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.
Di era reformasi, Indonesia semakin menyempurnakan agenda
kapitalistiknya. Lahir berbagai undang-undang yang pro-kapitalis seperti
UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan
sebagainya. Berdasarkan UU liberal inilah berbagai kebijakan ekonomi
dikeluarkan yang kenyataannya justru menimbulkan berbagai problem baru.
Misalnya, kemiskinan dan pengangguran bukannya menurun, justru terus
meningkat. Kekayaan sumber alam dikeruk asing, sementara utang negara
terus menumpuk.
Kapitalisme gagal menyejahterakan warga dunia. Kapitalisme
menciptakan ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural, dan hanya
menyenangkan para kapitalis. Meskipun terbukti gagal, namun kapitalisme
masih bisa bertahan hingga saat ini. Penyebabnya karena adanya dukungan
imperialisme atau penjajahan global. Kapitalisme bersama turunannya
yakni liberalisme, pluralisme, demokrasi, dan HAM dipaksakan oleh para
kapitalis yang bekerja sama dengan kaum imperialis agar dijadikan
ideologi oleh negara-negara di dunia. Tujuannya agar mereka bisa
menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mengeruk kekayaan
negara-negara tersebut dan menguasasinya secara politik.
Secara politik, AS dan Eropa, menjajakan sistem demokrasi yang
dikatakan sebagai sistem politik yang akan membawa pada kehidupan yang
lebih baik, sejahtera, dan modern. Padahal kenyataannya, demokrasi yang
bertumpu pada ide
liberalisme (kebebasan) ini telah menciptakan
berbagai bencana yang menimpa umat manusia di seluruh dunia. Ide ini
telah mengakibatkan berbagai krisis global serta memerosotkan harkat dan
martabat masyarakat di dunia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh ide
liberalisme di negeri-negeri Muslim secara ringkas dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Pertama,
kebebasan beragama. Dalam
demokrasi seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama.
Seseorang juga bebas untuk berpindah-pindah agama, sehingga agama
menjadi sekedar asesoris seperti halnya pakaian yang bisa diganti setiap
saat. Maka bisa dipastikan, generasi yang tumbuh dalam sistem demokrasi
akan semakin memandang remeh ajaran agama. Mereka tak segan berpindah
agama sekedar untuk memenuhi persyaratan pernikahan misalnya. Akhirnya
agama sekedar didudukkan sebagai penanda status seseorang, sama seperti
suku, komunitas, dsb.
Kedua,
kebebasan berpendapat. Dalam
demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide
apapun. Tak penting, pendapat atau ide itu sesuai dengan ajaran agama
atau tidak. Satu-satunya tolok ukur yang dipakai adalah kebebasan itu
sendiri, serta kepentingan, baik kepentingan diri maupun kelompoknya.
Karenanya, undang-undang dan peraturan yang lahir dari gedung parlemen
pada dasarnya sekadar alat untuk mengakomodir kepentingan mereka
sendiri, bukan kepentingan rakyat. Sebagai contoh, rencana kenaikan BBM
beberapa waktu lalu ditentang oleh hampir seluruh rakyat di negeri ini,
namun tetap saja disetujui oleh anggota DPR. Itu merupakan bukti bahwa
mereka memang tidak pernah peduli pada kepentingan rakyat sehingga tidak
layak disebut sebagai wakil rakyat. Hasilnya, para anggota dewan saat
ini ‘sukses’ mensejahterakan dirinya dan partainya, sementara rakyat
makin terjepit dalam penderitaan.
Ketiga, kebebasan kepemilikan. Kebebasan
ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki harta sekaligus
mengembangkannya. Hal ini menjadi jalan bagi para kapitalis yang
berkolaborasi dengan penguasa di negeri ini untuk menjarah kekayaan alam
yang
notabene milik seluruh rakyat. Di Indonesia, pihak asing
bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat.
Di sektor migas misalnya, saat ini di Indonesia ada 60 kontraktor
penguasa migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
Super Major (ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco) yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen.
Kelompok Major
(Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan
Japex) yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen.
Terakhir kelompok perusahaan independen yang menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.
Ironisnya, pada satu sisi perusahaan migas asing tersebut leluasa
mengeruk kekayaan negeri ini, pada sisi lain Indonesia jatuh dalam
perangkap utang. Total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013
sudah mencapai Rp 2.274 triliun. Menurut data Kementerian Keuangan
(28/10/2013), rencana cicilan pokok dan bunga utang 2013 sebesar Rp
299,708 triliun (cicilan pokok Rp 186, 5 dan cicilan bunga Rp 113,2
triliun) atau 17,3 % dari belanja APBN-P 2013.
Kebijakan yang tidak pro rakyat ini muncul dari pola pikir pemerintah
yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR yang melahirkan UU
dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22
Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Pada kasus PT Freeport
Indonesia misalnya, Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp
75–100 triliun pertahun seandainya pengelolaan tambang itu dikelola oleh
negara bukan asing.
Korporasi asing disamping membutuhkan bahan-bahan mentah untuk
menjalankan industrinya, juga membutuhkan pasar untuk produk-produk
industrinya. Hal inilah yang mendorong negara-negara kapitalis bersaing
guna menjajah sebuah negara melalui lembaga yang mereka bentuk, seperti
IMF, WTO, dan APEC. Tujuan utamanya tentu saja untuk mengeksploitasi
kekayaan alam mereka serta mengendalikan berbagai kebijakan ekonomi dan
politik di negara tersebut.
Keempat, kebebasan bertingkah laku. Kebebasan
berperilaku ini telah menyuburkan berbagai penyakit sosial. Menurut
data Kementerian Kesehatan, jika tidak ada program terobosan dalam
penanggulangan HIV/AIDS maka pada tahun 2025 akan ada 1.817.700 orang
terinfeksi AIDS. Anehnya, penanggulangan HIV/AIDS tersebut yang digagas
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama Kementerian Kesehatan
adalah dengan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada awal Desember
lalu. Padahal kampanye PKN tersebut lebih tepat disebut sebagai kampanye
pada seks bebas dan iklan penggunaan kondom yang akan menguntungan
perusahaan kondom.
Tingginya penderita penyakit HIV/AIDS tersebut sebagai pertanda
suburnya praktik seks bebas dan zina di negeri berpenduduk mayoritas
Muslim. Pemicunya tentu saja adalah kebebasan tingkah laku yang
dipertontonkan melalui berbagai tayangan berbau porno di berbagai tv dan
media cetak. Termasuk pagelaran yang menampilkan kecantikan wanita
seperti acara Miss World di Bali beberapa waktu lalu. Semua itu
berkontribusi nyata terhadap kerusakan akhlak masyarakat, namun
pemerintah tidak berdaya mencegahnya karena alasan kebebasan bertingkah
laku.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2013 sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
- Setiap penerapan sistem sekuler, yakni sistem yang tidak bersumber
dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta, pasti
akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Dikuasainya
sumber daya kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan asing, maraknya
korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik horizontal yang
tiada henti, kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh
di mana-mana adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu.
Ditambah dengan kedzaliman yang diderita umat di berbagai negara, serta
sulitnya perubahan ke arah Islam dilakukan oleh karena dihambat oleh
negara Barat yang tidak kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah
di Dunia Islam, semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera
kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah
SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, terutama
kapitalisme yang nyata-nyata sangat merusak dan merugikan umat manusia.
- Demokrasi dalam teorinya adalah sistem yang memberikan ruang kepada
kehendak rakyat. Tapi dalam kenyataannya negara-negara Barat tidak
pernah membiarkan rakyat di negeri-negeri muslim membawa negaranya ke
arah Islam. Mereka selalu berusaha agar sistem yang diterapkan tetaplah
sistem sekuler meski dibolehkan dengan selubung Islam, serta penguasanya
tetaplah mereka mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itulah yang
terjadi saat ini di negeri ini, sebagaimana tampak dari proses legislasi
di parlemen dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah,
khususnya di bidang ekonomi dan politik yang sangat pro terhadap
kepentingan Barat. Cengkeraman Barat juga tampak di negeri-negeri muslim
yang tengah bergolak seperti di Suriah, begitu juga di Mesir dan
negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Kenyataan ini juga
semestinya memberikan peringatan umat Islam untuk tidak mudah
terkooptasi oleh kepentingan negara penjajah. Juga peringatan kepada
penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh
amanah demi tegaknya kebenaran Islam, bukan demi memperturutkan nafsu
serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah.
- Bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang
tengah membelit negeri ini seperti sebagiannya telah diuraikan di atas,
maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah.
Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah
syariah Islam dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada
sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
- Karena itu, harus ada usaha sungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan
dan kesabaran serta kerjasama dari seluruh komponen umat Islam di negeri
ini untuk menghentikan sekularisme dan menegakkan syariah dan khilafah.
Hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh seorang
khalifah, Indonesia dan juga dunia, benar-benar bisa menjadi baik.
Syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan
kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian sehingga
kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.
Insya Allah
Sumber : Hizbut Tahrir Indonesia